04/08/16

Menjadi Petani

Ada yang bilang, hanya orang gila yang pengin jadi petani dengan modal pekarangan rumah selebar meja makan. Untungnya pekarangan saya lebih sempit, jadi saya tidak termasuk gila.

Saya memilih Hidroponik karena tidak perlu capek nyangkul dan nyiram. Saya pikir cocok dengan karakter pemalas saya. Ternyata jauh panggang dari api. THidroponik juga ribet, oleh sebab itu saya sempat punya niat berhenti.


Tapi komunitasnya yang selalu rame, serunya njarah panenan teman, dan bunyi nyaring duit receh ketika semaian dibeli orang, membuat saya lama-lama jadi ketagihan.

Salah satu aktifitas yang paling saya suka adalah mbolang - klayapan bareng ala praktisi Hidroponik. Pada saat ketemuan semua berbaur, cekakakan bareng, Tidak ada lagi kasta senior dan yunior. Aktifitas seperti itu cocok sebagai sarana melepas jenuh.

Dengan lahan sak ndulit, semula saya memang tidak berharap terlalu banyak untuk masuk sektor komersial. Target awal saya cuma mencari sarana refreshing. Tapi setelah babak belur, tanaman dihajar hama dan dieker-eker kucing, saya justru melihat banyak peluang yang bisa dimanfaatkan.

Sekarang lahan sak ndulit itu sudah berkembang, menjadi lebih luas dibanding meja makan. Tapi jangan beranggapan melarnya lahan itu akibat saya sukses jualan sayuran. Saya cuma mengalihkan duit yang biasanya untuk bayar dokter dan nebus obat menjadi gubug sayuran.

nGurus tanaman sambil direcoki kucing dan mendengarkan musik ternyata membuat badan terasa lebih enteng ketimbang saat masih nenggak segenggam obat tiga kali sehari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar