01/07/18

The Art of Farming


Diantara yang berkunjung ke rumah, ada yang merasa mendapat manfaat dan terus belajar hidroponik bareng saya, tapi tidak sedikit pula yang komplain, “Sampeyan tidak memberi motivasi, malah membuat takut.”

Saya bukan pakar Hidroponik, hanya praktisi hobby, juga masih belajar. Kebun cuma sak ndulit, hanya seluas meja ping pong. Belum punya kisah sukses dan tidak ada kebon cantik yang bisa dipamerkan.

Hanya ada cerita seru ketika petak umpet dengan hama, asyiknya main akrobat untuk menjaga supaya larutan nutrisi bisa diserap maksimal oleh tanaman, dan obrolan kecut ketika menawarkan sayur yang hanya beberapa ikat tapi respon calon pembelinya jauh di luar perkiraan.

”Gua berani 40 ribu sekilo, bisa setor berapa kuintal sehari?”



Seandainya saya sudah pinter manajemen kebun, tidak ada hama ngajak guyonan dan pH nutrisi tidak rajin naik turun, maksimal kebun saya hanya mampu panen 2 Kg per hari, sementara tantangannya kuintalan. Tidak perlu pakai dietpun gula darah saya bakal ndlosor karena ngenes.

Kalau ditanya, berapa yang saya hasilkan dari kebun, bisa saya jawab “banyak” - karena menurut saya memang banyak. Tapi jangan tanya berapa penghasilan dari jual sayuran. Tidak ada cerita indah yang bisa saya sajikan.

Bagi saya, Hidroponik adalah seni bercocok-tanam. Sebagaimana seni, hasilnya tidak mesti berwujud uang, tapi bisa saya nikmati.

Berkat Hidroponik saya tidak lagi senewen menghadapi repotnya ngurus pajak. Ada tempat untuk ngadem disaat otak mulai over heat.

Kalau jualan sayur tidak memberi penghasilan cukup, lalu dari mana saya dapat duit untuk biaya kebon? Saya memang jualan perlengkapan Hidroponik, tapi kalau dilaporkan ke pajak sebagai omset kebun, bahkan bisa membuat tukang pajak ketawa nangis saking kecilnya.


 Saya tidak mengutip biaya pada teman-teman yang datang untuk belajar karena sadar diri, ilmunya belum pantas dijual. Disamping itu saya mengikuti pepatah jawa “tuna sathak bathi sanak”, tidak dapat duit tapi nambah teman.

Terus duitnya dari mana?

Dari bisnis lain, yang omsetnya terdongkrak tanpa sengaja akibat teman bertambah.

Saya menyebut Hidroponik sebagai seni bercocok tanam karena bisnis Hidroponik bukan semata-mata jualan sayur. Ada yang sukses menjual perlengkapan Hidroponik, ada pula yang menjadi makmur berkat pelatihan. Peluangnya banyak, mulai dari konsultan kebun, jasa konstruksi green house, menjadi peracik nutrisi, jualan merchandise Hidroponik, sampai mengeruk rupiah dari Youtube.

Jadi, kalau hanya tersedia lahan sempit, modal cupet atau setelah panen bingung lantaran tidak bisa jualan, tidak perlu berkecil hati. Buatlah kebun mungil yang indah, di pagar halaman, di tembok rumah, di teras atau di mana saja tempat yang terpapar sinar matahari. Rawat dengan baik. Jadilah seniman Hidroponik. Peluang bisnis dan rejeki akan datang dengan sendirinya.


2 komentar: