Tiga hari belakangan saya menerima beberapa pertanyaan dari
teman-teman, “nGapain ikut brevet pajak lagi?”.
Tahun 2010 atau 2011 - lupa, saya memang pernah ikut brevet.
Tapi karena ikutnya setengah terpaksa, jadi banyak materi yang tidak nyangkut
di otak. Sekarang diulang belajar lagi, dan alhamdulillah, sampai hari ke 6
lewat, yang nyangkut jauh lebih banyak.
Banyak yang nyangka saya takut pajak. Betul. Saya tidak akan
berlagak sok jagoan, gegabah merasa bisa menghindari sanksi pajak segampang
membalik telapak tangan.
Resiko pajak mirip dengan resiko yang dihadapi oleh orang
yang main-main listrik. Bagi yang paham hukum listrik dan membekali diri dengan
perlengkapan yang memadai, bakal aman-aman saja. Sementara yang tidak paham
hukum listrik, lalu utak-atik peralatan listrik hanya dengan modal nekad, bakal
menanggung resiko besar.
Resikonya sebanding dengan tegangan listrik yang
diobok-obok. Semakin tinggi tegangannya, resiko celaka juga menjadi lebih
besar.
Bagi pegawai yang tidak punya penghasilan di luar upah,
resiko pajak cuma sebatas pada jumlah penghasilan yang diterima sebagai upah
kerja, tapi bagi non pegawai, termasuk petani, resiko pajak berbanding lurus
dengan arus uang yang numpang lewat dalam transaksi sehari-hari.
Saya sebut “arus uang yang numpang lewat”, bukan
penghasilan, karena menurut PP nomer 46 tahun 2013, berapapun omset usaha non
pegawai, selama kurang dari 4,8 Milyar setahun, terhutang Pajak Panghasilan
(PPh) sebesar 1% dari omset bruttonya.
Dirjen Pajak pernah ngomong, “orang dengan penghasilan
kurang dari 4,5 juta per bulan boleh tidak punya NPWP”, berati tidak wajib
bayar pajak. Tapi kalau dikaitkan dengan PP 46/2013, cuma para karyawan saja
yang diuntungkan.
Sejak Peraturan Pemerintah itu berlaku, penghasilan non
pegawai dengan omset brutto kurang dari 4,8 Milyar pertahun tidak bisa dihitung
lagi. Parameter yang ada cuma omset/ peredaran usaha brutto.
Saya mengumpulkan laba kotor rupiah demi rupiah yang
nilainya tidak lebih dari 3 persen dari peredaran bruttonya. Karena omset kemudian
dipaksakan dianggap sebagai penghasilan, maka bayar pajak 1% dari omset bisa
membuat sakit gigi saya langsung gak kerasa lagi, saking puyengnya.
Oke, yang mau ngamuk atau maki-maki pemerintah, silahkan
muring dulu. Tapi ingat, sumpah serapah tidak menyelesaikan masalah. Tukang PLN
tidak menghindari resiko mati tersengat listrik menggunakan sumpah serapah. Kita
butuh solusi riil, supaya tidak menjadi korban konyol.
Celakanya, cuma ada dua solusi, dan yang pertama pasti
banyak yang tidak suka.
Karena pajak berkaitan dengan penghasilan, maka supaya tidak
berurusan dengan pajak, satu satunya cara cuma menghindari punya penghasilan.
Nah, kan, ada yang nuduh saya ngawur.
Realitanya, bagi yang tetap pengin punya penghasilan,
apalagi pengin kaya, sampai kapanpun tidak bakal bisa mengindar dari ketentuan
undang-undang pajak.
Silahkan maki-maki saya, silahkan nyumpahin pemerintah,
silahkan ngamuk, tapi gak bakal ngaruh. SATU-SATUNYA SOLUSI supaya tidak jadi
korban konyol hanya dengan memahami peraturan pajak.
Masih tidak suka dengan solusi ke dua? Apa boleh buat, saya
hanya bisa turut berduka cita, karena tidak ada cara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar