Butuh waktu setahun lebih bagi Kebon Emak untuk bisa menjual
sayuran dengan harga 3 ribu per pcs. Itupun harga untuk konsumen. Sementara
kalau mau jual ke pasar, sampai saat naskah ini saya buat, harganya tetap hanya
7 ribu per kilo. Sama seperti harga sayur yang ditanam menggunakan kulultur
tanah.
Saya tidak bisa protes. Begitulah pasar. Pilihan saya hanya
mau menjual dengan harga 7 ribu per kilo, atau tidak.
Akhirnya terpaksa diakali. Sayur yang bagus dijual ke
konsumen langsung atau ke pedagang yang sudah tahu kualitas Hidroponik, dengan
harga sesuai target, sementara sisanya dijual ke pasar. Mending dapat 7 ribu
ketimbang dibuang.
Meskipun semua analisa bisnis Hidroponik yang saya baca mematok
harga 40 sampai 50 ribu per kilo, saya tidak merasa ditipu. Realitanya memang
ada yang bisa menjual dengan harga setinggi itu.
Saya tidak boleh iri pada teman-teman yang beruntung. Nasib
setiap orang berbeda, tapi sukses tidak bergantung pada nasib.
Saya memilih menjual sisa hasil panen dengan harga rendah
karena menurut saya, bisa menjual habis seluruh hasil panen sangat membantu
mengurangi beban stress yang bisa muncul ketika melihat banyak sayuran terpaksa
dibuang.
Tentu saja tidak bisa selamanya seperti itu, tapi cukup baik
sebagai langkah awal. Ketimbang hanya merenungi nasib belaka.
Lalu ada yang bertanya, “Kapan bisa kaya?”
Pengin jadi kaya adalah motivasi yang baik, tapi kebelet
kaya itu konyol. Yang jelas, selama tidak mau belajar memahami tabiat pasar,
apapun alasannya, tidak akan pernah membuat usaha kita berkembang.
Harga 7 ribu per kilo tidak masuk dalam hitungan Harga Pokok
Produksi di Kebon Emak. Tapi kalau saya tidak mau, dan memilih membuang sayuran
yang tersisa hanya demi “menjaga harga”, saya akan menanggung kerugian lebih
banyak. Bukan sekedar uang, tapi juga waktu. Dan lebih buruk lagi kalau sampai
putus asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar