Saya sering mendapat pertanyaan, apa yang bisa diharapkan
dari lahan pertanian sak ndulit?
Dulu saya cuma bisa meringis. Realitanya, ditanami apapun, lahan yang hanya seluas 4 x 9 meter persegi tidak pernah memberi hasil lebih dari recehan yang habis untuk bayar sekali parkir di mall. Jadi sayapun tidak berani berharap banyak secara finansial. Kalaupun saya bertahan tetap menanam, karena Hidroponik membantu mengurangi beban stress dari pekerjaan.
Dulu saya cuma bisa meringis. Realitanya, ditanami apapun, lahan yang hanya seluas 4 x 9 meter persegi tidak pernah memberi hasil lebih dari recehan yang habis untuk bayar sekali parkir di mall. Jadi sayapun tidak berani berharap banyak secara finansial. Kalaupun saya bertahan tetap menanam, karena Hidroponik membantu mengurangi beban stress dari pekerjaan.
Titik balik terjadi ketika ada teman fesbuk main ke
rumah, pengin konsultasi pajak. Merasa tidak banyak tahu, permintaannya saya
tolak. Tapi orang itu malah ngeyel.
“Sampeyan sering membahas pajak di FB, kenapa masih merasa tidak tahu?”
“Saya hanya sharing pengalaman.”
“Sampeyan sering membahas pajak di FB, kenapa masih merasa tidak tahu?”
“Saya hanya sharing pengalaman.”
“Jadi di situ masalahnya, mengapa kebon
seluas ini tidak menghasilkan apa-apa. Sampeyan terlalu fokus pada apa yang
tidak sampeyan miliki, mengabaikan potensi dari apapun yang sudah ada.”
Saya nyaris njeplak. Baru ketemu sekali, minta dibantu, malah sengak. Lagipula, apa hubungan kebon dengan niatnya belajar pajak?
Hanya karena ekspresi wajahnya lugu, saya gak tega ngamuk.
Tapi sejak saat itu kalimat “kebon seluas ini tidak menghasilkan apa-apa” mengganggu pikiran saya. Terutama ketika saya ingat bagaimana dulu mengawali bisnis rental mobil. Saya berangkat benar-benar tanpa modal. Jangankan mobil, kalkulatorpun pinjam. Saya selalu mencari apa yang bisa dimanfaatkan supaya bisnis jalan terus, dan mengabaikan apa yang SEHARUSNYA ADA TAPI TIDAK SAYA MILIKI.
Modal kerja ternyata tidak harus berupa harta milik sendiri. Sekarang rental mobil saya mampu melayani hingga puluhan unit untuk satu order tanpa harus punya kendaraan sendiri sebanyak kebutuhan konsumen, karena di luar sana ada setumpuk aset orang lain yang bisa saya manfaatkan.
Akhirnya saya harus ngaku salah,
mengabaikan aset dan menganggap tidak bisa diharapkan secara finansial.
Selama ini saya terlalu fokus pada
berbagai alasan mengapa saya tidak bisa menjadi petani komersial, bukan mencari
solusi supaya lahan yang hanya sak ndulit itu bisa dimanfaatkan secara
maksimal.
Pada saat saya mulai menjajagi semua potensi yang
bisa digarap, saya mendapati istri saya justru sudah melangkah lebih jauh.
Peluang yang saya anggap tidak bakal menguntungkan secara finansial, dikerjakan
dengan telaten. Uang receh hasil jualan dikelola dengan baik, sehingga
bertambah. Sementara uang yang mampir kantong saya tidak pernah bertahan lebih
dari sehari, langsung lenyap entah ke mana.
Pelajaran moral yang saya dapat dari
omongan sengak teman FB: Lahan sak ndulit adalah aset, sama seperti lahan
seluas stadion olah-raga. Bila dikelola dengan baik dan benar bisa menjadi
modal untuk menggapai target yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar