Tampilkan postingan dengan label Instalasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Instalasi. Tampilkan semua postingan

03/06/18

Aplikasi Close Circuit di Kebun


Untuk instalasi satu meja, close circuit bisa digantikan oleh manifold. Bahkan bila tekanan pompa cukup besar, nutrisi masih bisa terbagi merata ke seluruh titik hanya dari pipa sekunder tunggal.

Close circuit baru efektif bila diterapkan pada instalasi yang mengumpan lebih dari dua modul meja, frame “A”, rakit apung, dutch bucket, atau kebun dengan irigasi tetes.

Ilustrasi berikut ini adalah penyederhanaan dari instalasi distribusi nutrisi yang saya pelajari di salah satu blok kebun Damar Hydrofarm. Instalasi asli menggunakan frame A, saya ubah menjadi gully meja: 



Keterangan:
  1. Pompa sumur diletakkan di atas permukaan lantai GH.
  2. Tandon ditanam maksimal berjarak 1 meter di sebelah pompa.
  3. Pipa primer ( tampak samping dan tampak depan ) adalah pipa yang langsung tersambung dengan outlet pompa. Berdiri tegak, terhubung dengan pipa sekunder .
  4. Pipa LOOP ( tampak atas ) adalah pipa yang menghubungkan kedua kaki pipa sekunder sehingga terbentuk Close Circuit.
  5. Pipa sekunder diletakkan di atas supaya hanya ada satu pipa saja dengan posisi vertikal. Fungsinya untuk meringankan beban pompa mendorong fluida naik, dibanding bila pipa sekunder berada di bawah, dan terdapat satu pipa vertikal untuk setiap meja.
  6. Nutrisi dari pipa sekunder dibagi rata oleh setiap manifold, dialirkan turun menuju gully menggunakan selang 7 mm.
  7. Manifold dipasang di atas pipa sekunder (bukan di sebelah atau di bawah) supaya hukum bejana berhubungan bekerja. Dengan cara ini nutrisi akan naik dari pipa sekunder menuju manifold secara serentak dengan debit sama.
Contoh aplikasi LOOP pada instalasi lain:



01/06/18

Saluran LOOP Untuk Distribusi Nutrisi


Akhirnya instalasi frame “A” di kebon terpaksa dibongkar, diganti rangkaian gully meja, supaya semua tanaman terpapar sinar matahari.

Instalasi awal hanya satu meja, terdiri dari 8 gully dirangkai secara paralel dengan pipa saluran sekunder dipasang di atas gully (ilustrasi 1 - LAYOUT GULLY MEJA). Nutrisi dialirkan menuju gully menggunakan selang diameter 5mm yang ditancapkan pada sisi bawah pipa sekunder  (ilustrasi 1 - TAMPAK DEPAN dan TAMPAK SAMPING).

ILUSTRASI 1
Pipa sekunder terpasang pada ketinggian 80 cm, pompa terbenam 50 cm dari muka tanah.

Pada beberapa kali percobaan dengan ketinggian output 130 cm, pompa mampu mengisi ember kapasitas 65 liter dalam waktu rata-rata 106 detik. Berarti debit yang keluar = 65/106x60 = 36,7 L/menit, masih  di atas debit yang dibutuhkan sebesar 8x2 L/mnt. Mestinya cukup, tapi ternyata ada gully yang mendapat supply hampir 3 L/mnt, ada pula yang tidak kebagian sama sekali.

Dari selang yang menancap di pipa sekunder pada sisi sebelah kanan sambungan T, rata-rata keluar nutrisi dengan debit lebih dari 2 L/mnt. Sementara debit selang pada sisi kiri kurang dari 1 L/mnt. Bahkan ada yang tidak keluar nutrisi sama sekali.

Setelah beberapa kali dilakukan audit instalasi, saya menemukan 2 kesalahan:
  1. Posisi pipa sekunder tidak benar-benar datar, sehingga nutrisi yang keluar dari pipa primer cenderung lebih banyak mengalir ke salah satu sisi yang posisinya lebih rendah.
  2. Selang terpasang pada sisi bawah pipa. Dengan kapasitas pompa tidak terlalu besar, pengaruh grafitasi bumi menjadi lebih dominan. Akibatnya, nutrisi cenderung keluar melalui lubang terdekat dari arah aliran fluida.

ILUSTRASI 2

Koreksi yang saya lakukan:
  1. Supaya tidak mengganggu aktifitas, posisi pipa sekunder di turunkan (ilustrasi 2 - LAYOUT GULLY MEJA).
  2. Supaya fluida terbagi sama rata meskipun pipa sekunder tidak benar-benar datar, pipa sekunder saya buat menjadi rangkaian LOOP (ilustrasi 3). Dua batang pipa sekunder semua ujungnya saling dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk CLOSE CIRCUIT. Fluida yang keluar dari pipa primer menuju sisi A dan B, meskipun tidak terbagi rata antara lengan kiri dan kanan, akan terus mengalir keliling sepanjang pipa sekunder sampai ujung masing-masing aliran bertemu di suatu titik. Pertemuan itu menyebabkan tekanan fluida di SETIAP TITIK pada dinding pipa menjadi SAMA BESAR.
  3. ILUSTRASI 3
  4. Selang 5mm dipasang pada sisi pipa bagian atas, tersambung dengan lubang input pada DOP  (ilustrasi 2 DETAIL - TAMPAK SAMPING). Dengan posisi selang tegak ke atas, nutrisi pada setiap selang akan terdorong secara bersamaan dengan tekanan sama besar, sehingga debit yang keluar juga akan sama.
  5. Sebagai antisipasi selang buntu tanpa diketahui, saya menggunakan dua selang 5 mm terpasang paralel. Bila salah satu selang mampet, gully masih mendapat supply nutrisi dari yang lain. Manfaat lain menggunakan selang 2x5 mm, bila ada gully yang tidak digunakan (kosong), ujung ke dua selang bisa saling disambung untuk menghentikan aliran keluar.

11/10/15

Distribusi Nutrisi - MEMILIH POMPA

Saya menggunakan instalasi Hidroponik vertikutur rangka A. Masing-masing rangka terdiri dari 14 batang pralon, dan pralon paling atas terletak setinggi 210 cm dari permukaan tanah. 

Dengan kebutuhan supply nutrisi rata-rata 2 liter per menit, menurut hitungan di atas kertas, satu rangka memerlukan supply air sebanyak 28 liter per menit atau 1680 liter per jam.


Berdasar kondisi itu saya membeli pompa dengan daya pancar ke atas minimum 3 meter dan debit 2.000 liter per jam. Pilihan pertama jatuh pada pompa akuarium. Selain mudah didapat, murah, hanya mengkonsumsi listrik 26 watt.

Tapi begitu dicoba, pompa dengan kapasitas sebesar itu ternyata hanya mampu mengairi 4 titik input, selebihnya hanya kebagian udara.

Setelah cek berulang-ulang dan positif tidak ada kebocoran, ke 4 selang yang mengeluarkan air saya cabut dari pralon, lalu saya satukan untuk mengisi box bekas es krim kapastas 8 liter. Dari 3 kali pengisian masing-masing membutuhkan waktu 1 menit 17 detik; 1 menit 14 detik; 1 menit 20 detik

seandainya saya ambil rata-rata 1 menit 15 detik, berarti pada ketinggian 210 cm popma itu hanya mampu mensupply dengan debit sekitar 380 an liter per jam. Sangat jauh dari spesifikasi yang tertulis di box kemasan.

Saya sempat nyap-nyap, merasa dikadali. Tapi kemudian ada yang memberi penjelasan cara “membaca” kapasitas pompa.

Di box kemasan pompa ada grafik, ternyata grafik itu menunjukkan debit pompa pada berbagai ketinggian. Debit yang angkanya tertulis di kemasan ternyata merupakan debit maksimum pada ketinggian 0 (nol) meter, alias pas di mulut pipa keluaran. Sedang debit pada ketinggian tertentu besarnya bervariasi sesuai dengan grafiknya, dan pada ketinggian maksimum debitnya sangat kecil.

Tidak mau mengulang konyol, sebelum membeli pompa lagi saya mengumpulkan informasi tentang segala macam pompa, termasuk bertanya ke toko pompa air. Tapi hasilnya hanya sedikit lebih baik. Dari 14 titik yang harus disupply hanya 9 titik yang kebagian air, dengan total debit 20 liter per 54 detik. (Diukur dengan mengisi ember kapasitas 20 liter)

Pompa ke dua adalah pompa celup 80 watt dengan spesifikasi teknis debit 2.200 liter per jam, ketinggian pancar maksium 4,5 meter. Mestinya cukup kuat, karena saat cek debit pada ketinggian 2,5 meter mampu mengisi ember kapasitas 20 liter dalam waktu  40 detik.

Pertanyaan yang membuat saya penasaran, mengapa pada ketinggian lebih rendah debitmya justru lebih kecil?

Saya harus bongkar pasang instalasi irigasi lebih dari seminggu sebelum nemu biang keroknya. Pompa celup untuk kolam - termasuk akuarium, ternyata peka terhadap elbow, pencabangan dan kran. Bahkan kran dalam posisi terbuka penuh sekalipun mampu menurunkan debit.

Biang kerok sudah ketemu, tapi masalah saya belum selesai.

Pada saat yang sama kebetulan Komunitas Hidroponik Jawa-Tengah mengadakan pelatihan, salah satu materi yang dibahas adalah cara mendistribusikan nutrisi secara merata.. 

Setelah menerapkan metode pak Kabul Pamuji, menggunakan manifold, seluruh titik input kebagian air secara merata. meskipun debit rata-ratanya hanya di bawah 1 liter per menit.

Lumayan, ketimbang harus coba-coba pompa lain dengan resiko gagal lagi, padahal saya masih butuh tambahan satu pompa untuk frame ke dua.

Dari pengalaman tersebut, ditambah masukan dari tukang service pompa air saya memberanikan diri mengambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Pilih pompa yang memiliki debit berimbang dengan tekanannya. Daya listrik berpengaruh terhadap kemampuan pompa. Dengan debit sama, pompa hemat listrik  lebih loyo ketimbang yang mengkonsumsi daya lebih besar..
  2. Grafik debit tidak selalu akurat, tapi bisa digunakan sebagai patokan untuk mengukur kemampuan pompa.
  3. Sebisa mungkin hindari elbow dengan tekukan 90*. Seandainya lintasan terpaksa harus ditekuk, elbow bisa diganti dengan selang karet.
  4. Untuk pemakaian nonstop pada sistem NFT, pompa non carbonbrush lebih awet ketimbang yang menggunakan carbon brush.
  5. Sejauh yang saya alami, pompa sumur adalah pilihan terbaik. Meskipun debit yang disebutkan dalam spesifikasi teknis lebih kecil ketimbang pompa celup, tapi debit itu diukur pada titik keluaran setinggi total head optimum, bukan pada pipa keluaran di pompa. Semakin pendek jarak hisapnya, tekanan pada titik keluaran pipa dorong semakin besar. Itu sebabnya pompa sumur lebih tahan terhadap rintangan elbow dan pencabangan.