Ada yang bilang, hanya orang gila yang pengin jadi petani
dengan modal pekarangan rumah selebar meja makan. Untungnya pekarangan saya
lebih sempit, jadi saya tidak termasuk gila.
Saya memilih Hidroponik karena tidak perlu capek nyangkul
dan nyiram. Saya pikir cocok dengan karakter pemalas saya. Ternyata jauh
panggang dari api. THidroponik juga ribet, oleh sebab itu saya sempat punya niat berhenti.
Tapi komunitasnya yang selalu rame, serunya njarah panenan teman, dan
bunyi nyaring duit receh ketika semaian dibeli orang, membuat saya lama-lama jadi
ketagihan.
Salah satu aktifitas yang paling saya suka adalah mbolang -
klayapan bareng ala praktisi Hidroponik. Pada saat ketemuan semua berbaur,
cekakakan bareng, Tidak ada lagi kasta senior dan yunior. Aktifitas seperti itu
cocok sebagai sarana melepas jenuh.
Dengan lahan sak ndulit, semula saya memang tidak berharap
terlalu banyak untuk masuk sektor komersial. Target awal saya cuma mencari
sarana refreshing. Tapi setelah babak belur, tanaman dihajar hama dan
dieker-eker kucing, saya justru melihat banyak peluang yang bisa dimanfaatkan.
Sekarang lahan sak ndulit itu sudah berkembang, menjadi
lebih luas dibanding meja makan. Tapi jangan beranggapan melarnya lahan itu
akibat saya sukses jualan sayuran. Saya cuma mengalihkan duit yang biasanya
untuk bayar dokter dan nebus obat menjadi gubug sayuran.
nGurus tanaman sambil direcoki kucing dan mendengarkan
musik ternyata membuat badan terasa lebih enteng ketimbang saat masih nenggak
segenggam obat tiga kali sehari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar